Memories in Bekiring Village
Implementasi Dasa Dharma Kedua
"Cinta Alam dan Kasih Sayang Sesama Manusia"
Oleh : Sya'ban Hamdani, Misbahul Munir, Wahyu Irawati, Ingka Diviana Awalina Putri
(Dokumentasi : Foto bersama pembukaan pengabdian masyarakat dan foto bersama kelompok homestay 4 dengan keluarga Bapak Sukiman)
Pada Selasa,
2 Juli 2024 peserta TRP3TI dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok 1 yang mengikuti kegiatan pengabdian masyarakat dan kelompok 2 yang mengikuti kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan di bumi perkemahan. Kelompok 1 kontingen Pramuka UIN SATU Tulungagung berangkat ke lokasi Pengabdian Masyarakat pukul 08.00 WIB. Lokasi yang dipilih untuk pengabdian masyarakat
yaitu di Desa Bekiring, Kecamatan Pulung, Kabupaten Ponorogo. Perwakilan dari
setiap kontingen yang mengikuti pengabdian masyarakat yaitu sejumlah 4 putra
dan 4 putri yang mana dari kontingen Pramuka UIN SATU Tulungagung diikuti oleh
kak Firdho, kak Azzuhaal, kak Sya’ban, kak Iffan, kak Hasna, kak Ira, kak Sri,
dan kak Isma. Kami tiba di lokasi pukul 11.00 WIB dan
kemudian lanjut untuk persiapan pembukaan pengabdian masyarakat.
Kegiatan
pengabdian masyarakat dibuka oleh kepala desa Bekiring. Beliau sangat ramah
kepada kami dan beliau juga menjelaskan mengenai desa Bekiring. Setelah
kegiatan pembukaan selesai, kami mendapatkan arahan dari reka kerja mengenai
pembagian homestay. Reka kerja juga menjelaskan tugas-tugas kami selama
di homestay yaitu membantu kegiatan masyarakat, kerja bakti, dan
mengikuti workshop. Berikutnya kami diantar menuju homestay masing-masing.
Saya tinggal di rumah bapak Sukiman bersama dengan 8 delegasi kontingen
perti lain. Sesampainya di rumah bapak Sukiman, kami beramah tamah kepada
keluarga bapak Sukiman. Lalu, kami membantu keluarga bapak Sukiman memasak,
membersihkan rumah, memerah susu sapi, dan kemudian kami berangkat untuk
mengikuti workshop pembuatan ice cream.
Malam harinya kami mengikuti pengajian sekaligus penutupan kegiatan pengabdian masyarakat yang berlokasi di balai desa Bekiring. Pengajian dan penutupan pengabdian masyarakat selesai pukul 22.30 WIB, kemudian kami kembali ke homestay masing-masing untuk beristirahat. Keesokan paginya, kami bersiap untuk melanjutkan kegiatan kunjungan produk lokal, akan tetapi sebelum itu kami berpamitan kepada keluarga bapak Sukiman. Kami mengucapkan terima kasih banyak dan memohon maaf apabila kami melakukan kesalahan. Keluarga bapak Sukiman sangat baik kepada kami, mereka memberikan bingkisan oleh-oleh kepada kami lalu kami bersalaman kepada mereka dan pamit untuk menuju ke balai desa Bekiring.
(Dokumentasi : Pelatihan Budaya Ponorogo)
Sedangkan kelompok 2 kontingen Pramuka UIN SATU Tulungagung yang berada di bumi perkemahan mengikuti kegiatan pelatihan budaya Ponorogo. Pada kegiatan tersebut, kontingen Pramuka UIN SATU Tulungagung mengikuti pelatihan reog Ponorogo, dimulai dengan seminar singkat yang menjelaskan tentang sejarah reog Ponorogo.
Reog Ponorogo muncul dari kisah sayembara merebutkan cinta dewi berasal dari Kediri yaitu dewi songgolangit. Reog Ponorogo berawal dari Kelana Suwandana, raja Kerajaan Bantarangin, yang ingin melamar putri Kerajaan Kediri. Nama putri tersebut adalah Dewi Ragil Kuning atau Putri Sanggalangit. Ketika melakukan perjalanan untuk melamar sang putri, sang raja dicegah oleh Raja Kediri bernama Singa Barong. Kehadiran Raja Kediri ini disertai pasukan tentara yang terdiri dari hewan singa dan burung merak. Sementara, Raja Kelana bepergian bersama wakilnya, Bujang Anom dan pengawal raja yang disebut warok. Para pengawal raja ini memiliki kekuatan ilmu hitam yang mampu mematikan lawan. Para warok memakai celana dan baju hitam sambil membawa senjata cemeti dan pecut. Kedua kubu kerajaan kemudian saling bertarung mengeluarkan kesaktian. Selama berhari-hari pertarungan, keduanya saling berdamai. Akhirnya Raja Kelana berhasil meminang Dewi Ragil Kuning.
Di
Masyarakat Ponorogo, Reog Ponorogo bukan hanya mengisahkan tentang sayembara
namun juga beredar rumor bahwa Reog Ponorogo adalah bentuk sindiran untuk Raja
Majapahit pada masa tersebut. Kerajaan Majapahit sempat berjaya di tangan Prabu
Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada. Namun pelan-pelan, kerajaan ini mengalami
kemunduran. Lunturnya kewibawaan dan kekuatan Kerajaan Majapahit
makin dirasakan di era Raja Bre Kertabumi, raja terakhir Majapahit. Ia tak
mampu menjalankan roda pemerintahan seperti raja-raja sebelumnya karena terlalu
tunduk kepada permaisurinya yang cantik. Para
pembantu Bre Kertabumi merasa gelisah karena keadaan di dalam istana semakin
kacau. Mereka khawatir tentang masa depan Kerajaan Majapahit. Namun karena
kuasa sang raja yang terlalu besar, pembantunya tak dapat lagi memberi masukan.
Bahkan, saran dari penasihatnya pun tak lagi
didengarkan. Bre Kertabumi lebih senang mendengar pendapat permaisurinya. Salah
satu penasihat Bre Kertabumi, Ki Ageng Ketut Suryo Alam termasuk salah satu
yang juga merasakan kegelisahan dan kekhawatiran tentang kelangsungan Kerajaan
Majapahit. Kekhawatirannya beralasan.
Sebab, roda pemerintahan tidak lagi dikomandoi dengan benar. Ia pun sudah
berusaha menasihati sang raja agar tak terlalu mendengarkan permaisurinya. Namun,
Bre Kertabumi bergeming.
Karena
merasa kehadirannya sudah tidak ada gunanya, Ki Ageng Ketut Suryo Alam pun
menyingkir dari lingkungan istana Kerajaan Majapahit, Ki Ageng
Ketut Suryo Alam menganggap Prabu Bre Kertabumi sudah jauh dari tatanan moral
kerajaan. Sandy meyakini penyimpangan moral inilah yang kemudian menghancurkan
Kerajaan Majapahit.
Kebijakan
politik Majapahit yang seharusnya dipegang sang raja, pada waktu itu nyatanya
dikendalikan permaisurinya sehingga banyak keputusan dan kebijakannya yang
tidak benar dan tidak sesuai tatanan peraturan kerajaan. Setelah angkat kaki
dari istana, Ki Ageng Ketut Suryo Alam pergi ke Desa Kutu di wilayah Wengker.
Ia mendirikan sebuah padepokan olah kanuragan dan kesaktian, serta mengajari
muridnya menjadi seorang prajurit yang bersifat ksatria dan gagah perkasa. Prinsip yang
diyakininya adalah prajurit harus taat kepada kerajaan dan punya kesaktian
untuk membela kerajaannya. Untuk dapat memiliki kesaktian, Ki Ageng Ketut Suryo
Alam tak memperbolehkan muridnya berhubungan dengan wanita. Jika dilanggar,
kehilangan kesaktian akan menjadi konsekuensinya. Didikan Ki Ageng Ketut Suryo
Alam berhasil. Banyak muridnya yang menjadi seorang prajurit bersifat ksatria.
Padepokannya juga menjadi populer dan dikenal di berbagai daerah.
Menurut
Ki Ageng Kutu, perlawanan dengan senjata dan peperangan tidak akan
menyelesaikan masalah karena hanya akan menimbulkan penderitaan di kalangan
rakyat. Di samping itu, dari segi kekuatan prajurit, murid-muridnya tentu akan
mudah ditaklukkan oleh bala tentara Majapahit yang jumlahnya jauh lebih banyak.
Ki Ageng Kutu kemudian memikirkan cara lain untuk melawan Majapahit tanpa adu
fisik tapi tetap tepat sasaran. Berhari-hari ia merenung dan berpikir, hingga
muncul pikiran untuk melakukan perlawanan secara psikologis berupa kritikan
yang dilayangkan lewat kesenian.
Dengan
berbekal pengalamannya selama bertahun-tahun menjadi penasihat di Kerajaan
Majapahit, ia paham betul kondisi dalam pemerintahan dan istana. Ditambah
keahlian murid-muridnya, Ki Ageng Kutu akhirnya menciptakan drama tari yang
disebut reog. Kesenian ini digunakan untuk menggambarkan keadaan kerajaan
Majapahit, menjadi sindiran atau satire sekaligus mempunyai makna simbolis.
Ki
Ageng Kutu berperan sebagai tokoh warok. Dalam drama tari reog, warok
dikelilingi murid-muridnya. Hal itu menggambarkan fungsi dan peranan sesepuh
masih tetap diperlukan dan harus diperhatikan dalam sebuah tata pemerintahan.
Pelaku
dalam drama tari reog adalah singo barong yang mengenakan bulu merak di atas
kepalanya. Tokoh singo barong merupakan sindiran terhadap kecongkakan, atau
kesombongan sang raja yang tidak mau lagi mendengarkan nasihat dari para
penasihat kerajaan.
Penari
kuda atau jathilan yang diperankan seorang laki-laki yang lemah gemulai dan
berdandan seperti wanita menggambarkan hilangnya sifat keprajuritan Kerajaan
Majapahit. Para prajurit Kerajaan Majapahit dianggap sudah tidak berdaya.
Tarian
penunggang kuda yang aneh menggambarkan ketidakjelasan peranan prajurit
kerajaan, ketidakdisiplinan prajurit terhadap rajanya. Namun, raja berusaha
mengembalikan kewibawaannya kepada rakyat yang digambarkan dengan penari kuda
yang berputar-putar mengelilingi sang raja.
Setelah dijelaskan tentang sejarah kesenian Reog Ponorogo. Saya dan teman-teman belajar menari Reog Ponorogo, untuk yang perempuan belajar tari jathil dan untuk laki-laki belajar tari warog. Dan di sesi terakhir kami menari bersama.
Kegiatan yang selanjutnya yaitu penanaman pohon dan menghias tempat sampah. Kegiatan ini di mulai pukul 14.00 WIB bertempat di kampus 2 IAIN Ponorogo. Dalam kegiatan ini kami dibagi menjadi 2 kelompok yakni kelompok penanaman pohon dan kelompok menghias tempat sampah.
Untuk kelompok menanam Pohon dari kontingen Pramuka UIN SATU Tulungagung yakni Saya, kak Dipia dan Kak Anisa. Kegiatan ini di awal ii dengan mengambil bibit tanaman yang sudah di sediakan oleh Panitia dan lokasi penanaman sudah di tentukan oleh panitia yakni di sekitar gedung FTIK, di belakang Gedung FARSYA, di samping Gedung FEBI dan di sekitar Stadion IAIN Ponorogo
Untuk Kelompok menghias tempat sampah dari kontingen Pramuka UIN SATU Tulungagung yakni Kak Ma’ruf, Kak Shella, Kak Zestin, Kak Badrus Dan Kak Izzul. Kegiatan ini diawali dengan pembagian kelompok oleh panitia. Untuk tempat sampah yang di hias sdah di sediakan oleh panitia. Tugas para peserta adalah menghias atau mengecat tempat sampah tersebut sekreatif mungkin dan sebagus mungkin. Kegiatan ini berakhir pukul 15.30 WIB dan di lanjutkan dengan kegiatan bersih diri.
(Dokumentasi : kegiatan pengajian)
Malam harinya kami mengikuti kegiatan Pengajian dan sholawatan. Pada kegiatan ini di mulai dengan
sholawatan yang di iringi oleh tim hadroh salah satu UKM yang ada di
IAIN Ponorogo sampai waktu yang telah
di tentukan kurang lebih pukul 20.00 WIB. Acara Pengajian di mulai dengan
pembukaan, pembacaan ayat suci al-quran dan dilanjutkan acara
inti yakni Mauidhoh Hasanah
Salah
satu isi kajian di dalam kegiatan ini adalah manfaat dari sholat sunnah
dan tentang Filosofi Kelapa yakni dalam
kehidupan kita yakni ada 3 beberapa Hal yakni Metu, Mati, dan Manten. Maksud dari
hal tersebut yakni Metu berartikan ada sebuah kelahiran manusia, buah kelapa
tersebut digunakan seperti tasyakuran, aqiqah, pitonan, dsb. Mati yakni sebuah
kematian kelapa juga di gunakan juga diisi seperti halnya untuk bahan makanan
untuk acara seperti 3 hari an, 7 harian dsb nya. Manten berartikan menikah, di dalam
upacara adat Jawa pastinya ada yang namanya sesajen, buah kelapa juga di gunakan
di sesajen tersebut tidak hanya di upacara pernikahan akan tetapi pada upacara-upacara adat lainnya di jawa juga menggunakan kelapa.
Dari sini dapat di simpulkan bahwa kelapa berguna di segala hal. Jadi nilai filosofis yang dapat kita ambil adalah bahwasanya manusia juga harus seperti halnya kelapa bisa berguna dan bermanfaat bagi nusa, bangsa, dan agama. Kegiatan ini berjalan dengan lancar dan kegiatan ini berakhir pukul 22.00 WIB kemudian dilanjut dengan istirahat di tenda masing-masing.
Komentar
Posting Komentar